xbanner 970x250

Menilai Pengaruh Politik dalam Putusan PTUN Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT

3 minutes reading
Thursday, 15 Aug 2024 21:29 0 30 Redaksi

Opini|Eranews.id – Dalam mengamati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam perkara Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, tampaknya penting untuk menilai kemungkinan adanya pengaruh politik yang memengaruhi keputusan tersebut dengan menggunakan perspektif realisme hukum. Kasus ini melibatkan Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang menggugat keputusan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK yang baru. Mengingat latar belakang Anwar Usman dan keterkaitannya dengan kasus yang melibatkan Gibran Rakabuming Raka, keponakannya, tampaknya perlu ditelaah karena adanya indikasi pengaruh politik dalam putusan ini. Dalam kerangka realisme hukum, hukum tidak hanya dipandang sebagai seperangkat aturan, tetapi juga sebagai produk dari interaksi sosial dan kekuasaan politik. Realisme hukum menekankan bahwa keputusan hukum sering kali dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kekuatan politik, kepentingan pribadi, dan dinamika sosial.

Faktor politik dalam kasus ini tampaknya menjadi sorotan, karena, pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK menjadi pusat perhatian karena Anwar Usman, penggugat utama, sebelumnya menjabat sebagai Ketua MK. Suhartoyo, yang diangkat menggantikan Anwar Usman, diduga dipengaruhi oleh dinamika politik tertentu, termasuk kemungkinan hubungan politik dan rezim saat ini. Ini menambah dimensi politik pada perkara ini, terutama ketika keputusan pengadilan menyangkut pengembalian status quo dan pemulihan nama baik. Keputusan PTUN Jakarta yang mengabulkan sebagian permohonan Anwar Usman dengan menyatakan bahwa pengangkatan Suhartoyo tidak sah dan harus dicabut, menunjukkan upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Namun, keputusan ini juga bisa dilihat sebagai refleksi dari dinamika politik yang lebih luas. Pengadilan mungkin berusaha menjaga kredibilitas sistem hukum dengan mengoreksi pelanggaran prosedural sambil menghindari implikasi politik yang lebih dalam seperti pemulihan posisi Anwar Usman sebagai Ketua MK.

Keputusan PTUN untuk tidak mengembalikan posisi Anwar Usman sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028 menunjukkan batasan dalam wewenang PTUN, namun juga bisa menjadi indikasi adanya tekanan politik yang memengaruhi hasil akhir. Pengembalian posisi jabatan sering kali melibatkan pertimbangan politik dan kekuasaan, di mana keputusan hukum mungkin terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Dalam kasus ini, Anwar Usman mengajukan gugatan terkait pengangkatan Suhartoyo dan pemulihan nama baiknya. Keputusan untuk menolak pengembalian posisi jabatan dan permohonan ganti rugi dapat menunjukkan usaha PTUN untuk tidak terjebak dalam konflik politik yang lebih besar. Dengan menolak untuk mengembalikan Anwar Usman ke posisinya dan menolak permohonan ganti rugi, PTUN mungkin berusaha untuk menjaga jarak dari pertimbangan politik yang bisa menodai keputusan hukum mereka.

Kritik terhadap putusan PTUN Jakarta dari perspektif realisme hukum mengarah pada beberapa poin penting. Pertama, ada kekhawatiran bahwa keputusan PTUN mungkin tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh politik. PTUN Jakarta, mungkin menghadapi tekanan untuk menghasilkan keputusan yang mencerminkan kepentingan politik yang lebih luas daripada hanya menerapkan hukum secara objektif. Hal ini menimbulkan keraguan tentang integritas dan independensi sistem peradilan. Kedua, keputusan untuk mengakui pelanggaran prosedural tetapi menolak untuk mengembalikan posisi jabatan Anwar Usman dapat dipandang sebagai usaha untuk menyelesaikan perkara dengan cara yang minim risiko politik. Dengan memberikan pemulihan nama baik tanpa mengubah status jabatan, PTUN tampaknya berusaha untuk menghindari konsekuensi politik yang mungkin timbul dari keputusan yang lebih radikal. Ketiga, penolakan terhadap permohonan ganti rugi dari Anwar Usman dapat mencerminkan batasan-batasan dalam hukum administrasi dan keputusan pengadilan dalam menghadapi tuntutan yang tidak sepenuhnya terkait dengan pelanggaran prosedural. Namun, hal ini juga bisa mencerminkan pertimbangan politik yang lebih besar, di mana pengadilan memilih untuk tidak menambah komplikasi dalam situasi yang sudah sarat dengan faktor politik.

Oleh: Sultoni Fikri

Peneliti di Nusantara Center fo Social Research (red).

LAINNYA
xbanner 970x250