Menulis, Jalan Sunyi Menuju Keabadian dan Perubahan

waktu baca 5 menit
Selasa, 1 Jul 2025 10:25 0 62 Redaksi

Edukasi|Eranews.id – Di zaman yang serba cepat, manusia kerap kehilangan kedalaman. Kecepatan sering kali membunuh ketekunan, dan gempuran informasi membungkam refleksi. Kita berbicara banyak, tetapi berpikir sedikit. Kita membagikan banyak, tetapi merenungkan sangat sedikit. Maka dari itu, menulis adalah perlawanan, terhadap kelupaan, terhadap kebisingan, terhadap kejumudan. Menulis adalah tindakan sadar untuk mengabadikan, menata, dan menyuarakan. Ia bukan hanya kerja tangan, tetapi juga kerja jiwa dan pikiran. Ia adalah ibadah diam-diam yang bisa mengguncang dunia.

Jika manusia hari ini begitu mudah lupa, maka menulis adalah cara paling jujur untuk mengingat. Ia mengabadikan ide, merawat pengalaman, dan menata ulang makna. Dalam setiap lembar tulisan yang lahir dari hati, ada jiwa yang bekerja. Menulis bukan sekadar menyusun huruf, tetapi menyusun keberanian. Berani berpikir, berani berbeda, dan berani bertanggung jawab atas pikiran sendiri. Maka benar apa kata Pramoedya Ananta Toer: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Satu gagasan yang ditulis dengan baik dapat hidup lebih lama daripada tubuh penulisnya.

Dalam sejarah manusia, tulisan selalu hadir sebagai fondasi peradaban. Bangsa-bangsa besar meninggalkan jejak bukan hanya melalui arsitektur atau peperangan, tetapi lewat tulisan. Peradaban Mesir Kuno meninggalkan hieroglif. Yunani meninggalkan filsafat. Islam meninggalkan khazanah ilmu yang sangat luas. Di sinilah kita perlu menyadari, bahwa menulis bukan hanya aktivitas modern, tetapi warisan spiritual dari peradaban Islam yang agung.

Tradisi keilmuan Islam tidak bisa dilepaskan dari budaya tulis-menulis. Para ulama tidak hanya belajar dan mengajar, tetapi juga menulis dengan tekun dan ikhlas. Imam Al-Bukhari menulis Shahih Al-Bukhari dengan menghimpun ribuan hadis dari berbagai kota, mencatatnya satu per satu dengan akurasi luar biasa. Imam Al-Ghazali menulis lebih dari 70 kitab, termasuk Ihya Ulumuddin, sebuah karya ensiklopedis yang menggabungkan fiqh, tasawuf, dan filsafat dalam satu napas keilmuan yang luhur. Ibnu Sina menulis Al-Qanun fi al-Tibb, sebuah buku kedokteran yang dipelajari hingga ke Eropa selama berabad-abad. Imam Nawawi, dalam usia yang sangat singkat, menghasilkan puluhan karya monumental seperti Riyadhus Shalihin dan Al-Majmu’.

Mereka menulis bukan untuk ketenaran, apalagi keuntungan materi. Mereka menulis karena tahu bahwa ilmu akan mati jika tidak dicatat. Mereka menulis karena menyadari bahwa setiap kata adalah tanggung jawab, dan setiap gagasan adalah amanah yang harus disampaikan kepada umat. Menulis adalah bentuk adab terhadap ilmu. Menulis adalah jihad intelektual. Tanpa tulisan mereka, umat Islam hari ini mungkin tidak punya rujukan. Tanpa tulisan mereka, ilmu mungkin hanya akan tinggal dalam ingatan yang perlahan hilang. Maka jika hari ini kita merasa miskin literasi, barangkali karena kita terlalu jauh meninggalkan tradisi menulis dari para ulama.

Di sisi lain, dunia modern memberi kita ironi. Teknologi mempermudah kita menulis dan menyebarkan karya. Platform digital terbuka lebar. Tapi justru di zaman inilah banyak orang kehilangan semangat menulis secara mendalam. Yang lebih ramai bukan tulisan, tetapi status dan komentar. Yang lebih viral bukan esai dan refleksi, tetapi opini mentah dan sensasi. Kita punya alat, tapi lupa cara menggunakannya secara bernilai. Kita punya panggung, tapi tak tahu apa yang patut disampaikan.

Sementara itu, dunia berubah cepat. Hoaks menyebar dengan mudah. Narasi kebaikan dan kebenaran perlu lebih banyak suara. Maka menulis menjadi kebutuhan mendesak. Kita tidak bisa terus diam. Kita harus belajar menulis bukan hanya untuk didengar, tetapi untuk menyampaikan makna yang jernih dan bertanggung jawab. Menulis bukan untuk pujian, tetapi untuk menjelaskan sikap dan prinsip. Menulis adalah bentuk keberpihakan terhadap nilai.

Dalam acara yang saya isi, saya sampaikan satu prinsip penting, semua teknik bisa diajarkan, tapi motivasi tidak bisa ditanamkan dari luar. Seseorang harus memiliki dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk menulis. Dan dorongan itu hanya akan muncul jika ia paham mengapa ia menulis. Mengapa ia harus bersuara. Mengapa ia tidak boleh tinggal diam. Jika ini sudah tertanam, maka perkara struktur artikel, gaya penulisan, dan teknik SEO akan mudah dipelajari. Tapi jika tidak, maka menulis hanya akan jadi aktivitas sesaat—tanpa jiwa, tanpa makna.

Menulis adalah latihan berpikir. Ia melatih kita memilah, merumuskan, dan menyusun argumen. Dalam setiap proses menulis, seseorang belajar mengenali pikirannya sendiri. Ia belajar sabar, teliti, dan jujur. Menulis juga adalah proses kontemplasi. Banyak orang merasa tenang setelah menulis. Ada yang pulih dari luka. Ada yang menemukan arah hidupnya. Dalam tulisan, orang berbicara kepada dunia, tapi juga kepada dirinya sendiri.

Hari ini, kita tidak sedang kekurangan orang pintar. Tapi kita kekurangan orang yang berani menyuarakan pikirannya secara bertanggung jawab. Kita tidak kekurangan akses, tapi kekurangan kesadaran. Maka mari kita ingat kembali peran kita sebagai insan yang berpikir, bahwa menulis bukan hanya hak, tapi juga kewajiban. Bahwa setiap kata yang kita tulis bisa menjadi amal, bisa juga menjadi beban. Karena itu, tulislah yang baik. Tulislah yang berguna. Tulislah dengan hati.

Sebab esok, ketika suara kita tak lagi terdengar, tulisan kitalah yang akan bicara. Dan siapa tahu, satu kalimat dari kita bisa menjadi cahaya bagi orang lain. Jika kamu bukan anak raja, bukan anak ulama besar, maka menulislah. Karena menulis adalah jalan sunyi yang menuju keabadian (red).

“Jika kamu bukan anak raja, bukan anak ulama besar, maka menulislah.” — Imam Al-Ghazali

Oleh : Jaharuddin , Penulis, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta.

LAINNYA