Mahasiswa Bukan Pelengkap?

waktu baca 5 menit
Minggu, 14 Sep 2025 09:12 0 4 Redaksi

Opini|Eranews.id – Di tengah geliat transformasi pendidikan tinggi, ada satu pertanyaan mendasar yang kerap luput dari percakapan strategis, Siapa sesungguhnya yang menjadi pusat dari sistem perguruan tinggi? Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ia adalah undangan untuk merenung secara jujur dan mendalam. Khususnya di perguruan tinggi swasta, pertanyaan ini menjadi penting untuk memastikan bahwa arah dan energi seluruh elemen kampus benar-benar selaras dengan hakikat keberadaan institusi pendidikan itu sendiri.

Dalam kenyataannya, kita sering menyaksikan bagaimana dinamika perguruan tinggi swasta bergerak mengikuti pola relasi struktural yang hirarkis. Tenaga kependidikan sibuk melayani atasan langsung di tingkat fakultas atau universitas. Dosen menjalankan tugasnya berdasarkan arahan pimpinan program studi, dekan, atau rektorat. Pimpinan kampus pun bekerja dalam kerangka petunjuk yayasan atau kementerian. Dalam siklus ini, mahasiswa kerap kali tidak hadir sebagai pusat perhatian, melainkan hanya sebagai bagian dari sistem.

Akreditasi, sebagai alat ukur kualitas institusi, menjadi tujuan besar yang menyita perhatian. Seluruh sumber daya kampus diarahkan untuk mencapai status “unggul”, baik di level nasional maupun internasional. BKD/IKD dosen disesuaikan, borang diisi dengan cermat, data disempurnakan. Mahasiswa pun dimasukkan dalam narasi pelaporan, namun sayangnya, tidak selalu ditempatkan dalam peran yang adil dan seimbang sesuai kontribusi dan kebutuhan mereka. Sering kali, kontribusi mahasiswa terhadap akreditasi tidak berbanding lurus dengan perhatian institusi terhadap kebutuhan dan pertumbuhan mereka.

Mahasiswa diajak dalam penelitian, publikasi, dan pengabdian masyarakat. Namun, sejauh mana keterlibatan itu lahir dari kebutuhan pembelajaran mereka, bukan dari kepentingan administratif institusi? Apakah mahasiswa diberdayakan secara utuh sebagai mitra belajar, atau justru dijadikan bagian dari strategi pencapaian indikator kinerja?

Kita juga melihat fenomena di mana prestasi mahasiswa yang dicapai secara mandiri, tanpa dukungan langsung institusi, tetap diklaim sebagai bagian dari keberhasilan institusi. Bahkan, ada kalanya mahasiswa diwajibkan untuk publikasi demi memenuhi syarat sidang, yang secara tidak langsung turut mendongkrak capaian publikasi dosen atau program studi.

Semua ini bukan untuk menyalahkan. Ini adalah ruang refleksi. Sebuah ajakan untuk menundukkan kepala sejenak, melihat ke dalam, dan bertanya dengan jujur, Apakah sistem yang kita bangun selama ini benar-benar berpusat pada mahasiswa?

Jika kita jujur, mungkin kita akan menemukan bahwa sistem ini lebih sering diarahkan untuk memenuhi struktur — bukan memanusiakan individu. Kita lebih cepat merespons permintaan data dari kementerian, dibanding mendengar suara hati mahasiswa yang tengah kesulitan. Kita lebih takut pada hasil akreditasi daripada pada hilangnya makna belajar itu sendiri.

Barangkali ada yang menyanggah, bahwa logika bisnis “konsumen adalah raja” tidak serta merta bisa diterapkan dalam dunia pendidikan tinggi. Memang benar, mahasiswa bukanlah sekadar pembeli jasa yang bisa memilih dan menuntut sesuka hati. Pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan etik yang jauh lebih besar daripada transaksi komersial. Namun, menyadari mahasiswa sebagai “penerima manfaat utama” dari layanan pendidikan bukan berarti menurunkan nilai idealisme akademik. Justru dengan itulah, kita menempatkan tanggung jawab pendidikan secara utuh, mendidik, membimbing, dan melayani dengan hati. Pelayanan prima bukan tentang tunduk kepada keinginan mahasiswa, tetapi tentang empati, pendampingan, dan kepedulian terhadap proses tumbuh kembang mereka sebagai manusia.

Kita tentu sepakat bahwa akreditasi itu penting. Ia adalah cermin kualitas, panduan perbaikan, dan pengakuan dari luar. Namun akreditasi semestinya menjadi alat, bukan tujuan. Tujuan kita adalah mendidik manusia seutuhnya — membina akhlak, menumbuhkan kompetensi, dan membangun karakter. Semua itu hanya mungkin terjadi jika mahasiswa diperlakukan bukan sebagai objek administratif, melainkan sebagai subjek utama dalam proses pendidikan.

Bayangkan bila setiap mahasiswa merasa dihargai, didengar, dan didampingi. Bayangkan jika setiap kebijakan kampus lahir dari semangat untuk menciptakan pengalaman belajar yang memuaskan — dari awal pendaftaran hingga prosesi wisuda. Kampus bukan hanya tempat kuliah, tetapi ruang tumbuh yang penuh makna. Inilah esensi perguruan tinggi sejati.

Dan jika suatu hari kita memiliki gedung megah, fasilitas lengkap, dosen dengan gelar dan jabatan tinggi, tetapi tidak ada mahasiswa yang merasa bahagia dan bertumbuh — apakah itu masih bisa disebut kampus yang berhasil?

Kini saatnya kita menggeser paradigma, dari sistem yang berorientasi pada struktur dan formalitas, menuju sistem yang berorientasi pada pelayanan prima kepada mahasiswa. Karena sejatinya, tanpa mahasiswa, tidak ada pendidikan tinggi. Tanpa kebahagiaan dan keberhasilan mahasiswa, tidak ada makna dari segala status dan label yang kita kejar.

Oleh karena itu, seluruh kebijakan perguruan tinggi — mulai dari yayasan, pimpinan universitas, fakultas, program studi, dosen, hingga tenaga kependidikan — sudah seharusnya berorientasi pada satu tujuan besar, melayani dan mencarikan jalan keluar atas berbagai persoalan nyata yang dihadapi mahasiswa yang telah memilih menjadi bagian dari institusi kita. Tidak ada mahasiswa yang semestinya terpaksa berhenti studi, atau drop out, hanya karena lemahnya pelayanan, kurangnya simpati, atau absennya empati dari pengelola perguruan tinggi.

Refleksi ini tidak dimaksudkan untuk menunjuk kesalahan atau menggurui siapa pun. Pertanyaan yang kerap muncul setelah refleksi seperti ini adalah, Dari mana kita memulai? Perubahan besar tidak selalu lahir dari gerakan revolusioner, melainkan dari tindakan kecil yang konsisten dan berakar pada kesadaran. Maka, langkah pertama dan paling mendasar adalah mengubah cara pandang kita terhadap mahasiswa. Melihat mereka bukan sekadar penerima materi ajar, tetapi sebagai manusia seutuhnya yang hadir dengan mimpi, tantangan, dan potensi yang perlu disapa dengan empati.

Contoh konkret yang bisa segera dilakukan adalah menata ulang budaya pelayanan di lingkungan kampus. Mulai dari responsivitas staf administrasi terhadap pertanyaan mahasiswa, keterbukaan dosen terhadap aspirasi mahasiswa, hingga ruang-ruang dialog yang sehat antara mahasiswa dan pimpinan. Perubahan lain yang sangat berdampak adalah menjadikan evaluasi dari mahasiswa sebagai bagian serius dalam menilai kualitas pembelajaran dan layanan institusi — bukan sekadar formalitas.

Dengan cara ini, kita tidak hanya membangun sistem yang melayani, tetapi juga menumbuhkan budaya kampus yang saling menghargai. Inilah akar perubahan yang sejati. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk kembali pada niat awal kita semua masuk ke dunia pendidikan, membina dan membangun manusia. Mari mulai dari diri sendiri. Dari ruang lingkup peran kita masing-masing. Karena perubahan besar dalam dunia pendidikan dimulai dari keberanian kecil untuk mengubah cara pandang, menghidupkan rasa, dan menggerakkan empati.

Dan mungkin, dengan itu, mahasiswa tidak lagi merasa menjadi pelengkap — tetapi benar-benar menjadi pusat dari pendidikan perguruan tinggi.

Jaharuddin (Dosen FEB UMJ)
Sabtu , 130925 Pk 08.44 WIB

#Jika Bermanfaat Bebas untuk di Share.

LAINNYA