Edukasi|Eranews.id – Pagi itu, matahari tak sepenuhnya cerah. Awan tipis melayang malas di angkasa. Namun anehnya, justru langit yang samar itu membuatku merenung lebih dalam. Mungkin memang hidup tak selalu membutuhkan langit yang sempurna. Kadang, justru dalam kabut dan rumitnya jalan, kita belajar melihat lebih jernih.
Hari ini, kita hidup dalam zaman yang penuh kelimpahan — informasi, teknologi, akses, bahkan peluang. Namun di saat yang sama, kita juga dihadapkan pada realitas yang rumit, saling terhubung, dan tak dapat diselesaikan dengan logika linier semata. Dunia tak lagi sederhana. Dan manusia dituntut untuk tak hanya kuat, tapi juga cerdas — bukan dalam hafalan, melainkan dalam keberanian dan kebijaksanaan memecahkan persoalan yang tak punya jawaban instan.
Masalah kini tidak datang satu per satu, tapi sebagai sistem yang saling tumpang tindih dan memengaruhi. Menyelesaikan satu masalah bisa berarti mengubah yang lain. Dalam dunia seperti ini, kita dituntut untuk bukan hanya cepat, tapi juga bijak membaca keterkaitan. Bayangkan seorang petani kecil di kampung yang gagal menjual hasil panennya — bukan karena gagal panen, melainkan karena cuaca buruk di negara lain menurunkan harga global, lalu permintaan lokal ikut lesu. Di sinilah kompleksitas bekerja. Sebab dan akibat menyebar tanpa batas geografis.
Kemampuan mengurai simpul yang kusut tanpa menciptakan simpul baru adalah kecakapan yang semakin langka. Ia bukan semata soal kecerdasan logika, tetapi juga kedalaman rasa, ketajaman membaca situasi, dan keberanian mencoba cara-cara baru yang belum terpetakan.
Pemecahan masalah kompleks bukanlah tentang menyelesaikan teka-teki silang atau menjadi pintar dalam arti akademik. Ia adalah kemampuan untuk mengenali inti dari kekacauan, menyadari bahwa satu masalah bisa memiliki banyak lapisan, dan menyusun solusi yang tidak selalu langsung tampak, tapi berdampak jangka panjang. Ini menuntut kita untuk berpikir sistemik — memahami hubungan antarbagian, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, dan kadang, menerima bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan satu langkah.
Kadang, solusi terbaik bukanlah yang tercepat, tapi yang paling berani menyentuh akar persoalan — meski itu berarti harus melewati jalan yang belum pernah dilalui siapa pun sebelumnya.
Lantas, kapan kita perlu memiliki kemampuan ini? Jawabannya sederhana: selalu. Karena hidup tak pernah kehabisan masalah. Namun lebih dari itu, hidup juga terus memberi kita kesempatan untuk menjadi lebih bijak. Di tempat kerja, kita berhadapan dengan target yang berubah-ubah. Dalam keluarga, konflik nilai bisa muncul tanpa aba-aba. Dalam kehidupan sosial, kita dituntut memahami banyak suara dan kepentingan. Dan ketika kita dihadapkan pada pilihan — antara dua kebenaran, atau dua kesalahan yang harus dipilih salah satunya — saat itulah kemampuan ini menjadi kompas.
Belajar kemampuan ini tak harus di ruang seminar atau dalam gelar sarjana. Kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu, dari konflik kecil di rumah, dari keteguhan orang tua menghadapi masa sulit, dari tetangga yang kreatif menjual dagangan di tengah pandemi, hingga dari anak kecil yang spontan menemukan solusi tak terduga. Dunia nyata adalah guru terbaik — jika kita cukup rendah hati untuk menyimak. Hidup adalah laboratorium yang tak pernah tutup.
Lalu, siapa yang harus memiliki kemampuan ini? Setiap orang. Pemimpin membutuhkannya agar tak membuat keputusan sempit yang merugikan banyak sisi. Guru membutuhkannya agar mampu memahami latar belakang unik setiap anak. Anak muda membutuhkannya agar tak mudah patah saat dunia menantang. Orang tua membutuhkannya agar mampu membesarkan anak-anak di zaman yang tak lagi sama. Karena masalah tak memilih siapa yang akan ia datangi. Tapi solusi akan berpihak pada mereka yang berpikir melampaui reaksi.
Bagaimana membangun kemampuan ini? Tidak ada resep pasti. Namun ada jalan yang bisa ditempuh. Pertama, latih berpikir sistemik — lihat masalah dari berbagai sudut sebelum menyimpulkan. Kedua, lakukan refleksi diri — karena sering kali, akar masalah ada dalam bias dan luka pribadi. Ketiga, belajar lintas bidang — kadang solusi datang dari tempat yang tak terduga. Keempat, latih kemampuan mengambil keputusan, bahkan dari hal kecil. Dan kelima, tumbuhkan empati serta intuisi — bukan untuk menggantikan logika, tetapi untuk memperkaya sudut pandang.
Akhirnya, kita harus sadar bahwa hidup tak menjanjikan kebebasan dari masalah. Namun hidup selalu menyediakan ruang bagi mereka yang ingin belajar memahami kekusutan, tanpa ikut menjadi kusut di dalamnya. Dan mungkin, itu adalah bentuk cinta paling nyata kepada kehidupan: mencoba mengurai yang rumit, bukan untuk menjadi pahlawan, tetapi untuk menjaga agar dunia tetap bisa berjalan. Karena pada akhirnya, manusia terbaik bukanlah yang tak pernah salah, melainkan yang mampu menyelami masalah yang dalam, lalu kembali membawa jalan pulang — bagi dirinya sendiri, dan orang-orang di sekitarnya (red).
Oleh: Jaharuddin
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta