Ahli Hukum Tata Ruang dan Bangunan Gedung: Tragedi Ponpes Al-Khoziny Bukan Sekadar Bangunan Roboh, Melainkan Kegagalan Tata Kelola Ruang

waktu baca 3 menit
Jumat, 10 Okt 2025 05:58 0 5 Redaksi

Hukum|Eranews.id – Pakar hukum tata ruang dan bangunan gedung, Dr. Muhammad Zaki Mubarrak, S.H., S.T., M.H., menilai tragedi robohnya bangunan Ponpes Al-Khoziny di Sidoarjo bukan semata-mata akibat kegagalan konstruksi, melainkan cerminan lemahnya pengawasan tata ruang dan absennya kepatuhan administratif dalam pembangunan fasilitas publik. Menurutnya, langkah investigasi tidak boleh berhenti pada aspek teknis konstruksi, tetapi harus menelusuri izin mendirikan bangunan (PBG/IMB), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), serta kesesuaian bangunan dengan rencana tata ruang daerah.

“Perlu diperiksa apakah bangunan tersebut memiliki PBG dan SLF, termasuk apakah penambahan lantai dilakukan dengan persetujuan teknis. Jika tidak, itu indikasi kuat adanya kelalaian administratif yang berdampak fatal,” ujar Dr. Zaki melalui wawancara telepon pada Kamis (9/10). Ia menambahkan bahwa banyak fasilitas pendidikan keagamaan berdiri tanpa dasar legal formal, sehingga tidak tersentuh mekanisme pengawasan negara.

Lebih lanjut, Dr. Zaki menegaskan bahwa tragedi ini juga mengungkap lemahnya koordinasi lintas dinas di tingkat daerah. “Terdapat titik lemah serius dalam sistem pengawasan. Pemerintah daerah seharusnya melakukan inspeksi berkala terhadap bangunan publik. Namun, dalam banyak kasus, sensitivitas sosial terhadap lembaga keagamaan menyebabkan penegakan hukum menjadi longgar,” jelasnya.

Ia menambahkan, pengawasan bangunan tidak semata menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga melibatkan masyarakat sebagai pengguna dan lingkungan terdekat. “Masyarakat harus dilibatkan secara aktif untuk menilai apakah sebuah bangunan layak dan aman digunakan publik. Jika perangkat pemerintah menjalankan amanat undang-undang secara sistematis, tidak akan ada bangunan yang luput dari pengawasan, karena publik turut menjadi bagian dari mekanisme kontrol,” ujarnya.

Terkait pemanfaatan ruang, Dr. Zaki menekankan pentingnya kepatuhan terhadap ketentuan hukum. “Dalam kasus ketidaksesuaian pemanfaatan ruang, ancaman sanksinya tidak main-main. Denda dapat mencapai Rp8 miliar dan pidana hingga 15 tahun penjara. Karena itu, kesesuaian tata ruang harus berjalan seiring dengan perizinan bangunan gedung. Keduanya tidak boleh dipisahkan,” tegasnya.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, ia menekankan bahwa pihak pengelola, perencana, kontraktor, bahkan pejabat perizinan dapat dimintai pertanggungjawaban bila terbukti lalai. “Ini bukan hanya persoalan moral, tetapi menyangkut tanggung jawab hukum perdata, administratif, bahkan pidana jika terbukti mengakibatkan hilangnya nyawa,” tambahnya.

Sebagai evaluasi kebijakan, Dr. Zaki menilai regulasi tata ruang dan bangunan belum sepenuhnya melindungi keselamatan publik pada fasilitas keagamaan seperti pesantren. Ia mengingatkan bahwa perlindungan terhadap lembaga pendidikan agama tidak boleh mengorbankan keselamatan jiwa. “Pesantren memiliki kedudukan sosial penting, tetapi keselamatan tidak bisa ditawar. Negara seharusnya menyediakan mekanisme regularisasi dan pendampingan teknis, bukan membiarkan mereka membangun tanpa standar,” ungkapnya.

Menutup analisanya, Dr. Zaki mendorong reformasi mendesak dalam tata kelola ruang. Ia merekomendasikan tiga langkah utama: audit struktural independen pascatragedi, inventarisasi nasional bangunan pendidikan publik berbasis SIMBG dan GIS, serta penguatan kewajiban SLF sebelum bangunan beroperasi. “Tragedi ini harus menjadi titik balik. Keselamatan publik jangan diserahkan pada keberuntungan, tetapi dijamin oleh sistem,” pungkasnya (red).

LAINNYA