Kolom|Eranews.id – Bayangkan Anda sedang duduk dalam sebuah diskusi, dan seseorang di seberang meja melontarkan pendapat yang sangat berbeda dari Anda. Reaksi pertama yang muncul dalam benak bisa bermacam-macam, kesal, ingin membantah, merasa lebih pintar, atau bahkan ingin langsung mengakhiri pembicaraan. Reaksi-reaksi ini sangat manusiawi. Tapi di balik reaksi otomatis tersebut, sebenarnya tersembunyi peluang emas untuk bertumbuh, jika saja kita tahu cara mengenali dan mengelolanya. Di sinilah konsep Curiosity Curve atau Kurva Rasa Ingin Tahu menjadi sangat relevan dan berharga dalam kehidupan kita sehari-hari.
Curiosity Curve diperkenalkan oleh Jeff Wetzler, seorang praktisi pendidikan dan pembelajar aktif, yang ingin menjawab satu pertanyaan penting, Apa yang membuat sebagian orang mampu tetap tenang, terbuka, dan penasaran dalam situasi penuh perbedaan atau konflik, sementara yang lain cepat bereaksi negatif, menutup diri, atau menyerang balik? Kurva ini memberikan peta sederhana namun dalam, tentang bagaimana pikiran kita bisa bergerak dari zona “merasa paling benar” ke zona “ingin tahu dan ingin belajar.”
Kurva ini terdiri dari enam zona utama, yang terbagi ke dalam dua kutub, zona kepastian dan zona keingintahuan. Pada sisi paling tertutup, kita menemukan zona yang disebut “Self-righteous Disdain”, di mana seseorang tidak hanya yakin bahwa dirinya benar, tapi juga merendahkan atau bahkan menganggap berbahaya mereka yang berpikir berbeda. Ini adalah zona yang dipenuhi kemarahan, cemoohan, dan ketidakmauan untuk mendengar. Semakin kita bergerak ke kanan dalam kurva, kita masuk ke zona “Confident Dismissal”, di mana seseorang tetap merasa dirinya paling benar, tapi mulai sedikit membuka ruang untuk mendengar—walau tujuannya hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih pintar. Lalu kita memasuki “Skeptical Tolerance”, zona di mana seseorang bisa mendengarkan pendapat berbeda, tapi masih dipenuhi keraguan dan keengganan untuk benar-benar menerima kemungkinan adanya nilai atau kebenaran dari sudut pandang lain.
Namun, perubahan besar terjadi saat seseorang melewati batas psikologis dari zona kepastian ke zona keingintahuan. Di sinilah pertumbuhan sejati dimulai. Zona “Cautious Openness” adalah saat seseorang mulai mengakui bahwa mungkin ada sesuatu yang berharga dari perspektif orang lain, walau belum sepenuhnya paham. Lalu ada “Genuine Interest”, zona di mana kita benar-benar ingin memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan, bukan untuk mengoreksi, tapi untuk mengerti. Puncaknya adalah “Fascinated Wonder”—zona penuh kekaguman di mana kita melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai ladang pembelajaran yang kaya.
Mengapa kurva ini begitu penting untuk pengembangan diri? Karena pikiran yang tertutup adalah musuh utama pertumbuhan pribadi, sementara pikiran yang terbuka adalah gerbang menuju kebijaksanaan. Kita hidup di zaman yang sangat bising—media sosial penuh debat, berita penuh opini, dan kehidupan sehari-hari dipenuhi situasi di mana kita harus berhadapan dengan orang yang berbeda pandangan, latar belakang, atau nilai. Dalam situasi seperti ini, Curiosity Curve bisa menjadi alat refleksi yang sangat praktis. Ia membantu kita mengukur posisi batin kita sendiri dalam setiap interaksi, dan lebih penting lagi, mendorong kita untuk naik tingkat ke zona berikutnya.
Misalnya, ketika seseorang memberikan kritik terhadap pekerjaan kita, alih-alih langsung tersinggung (zona penolakan), kita bisa berhenti sejenak dan bertanya: “Apa yang bisa saya pelajari dari sudut pandang ini?” Ketika berdiskusi dengan teman yang berbeda pandangan politik, alih-alih menyerang balik, kita bisa mencoba masuk ke zona minat tulus, “Apa pengalaman hidup mereka yang membentuk cara pandang ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini tampak sederhana, tapi memiliki kekuatan besar untuk merombak cara kita memandang perbedaan.
Salah satu manfaat paling mendalam dari menerapkan Curiosity Curve adalah menumbuhkan empati. Saat kita benar-benar ingin tahu mengapa seseorang berpikir atau bertindak seperti itu, kita mulai melihat mereka sebagai manusia utuh—bukan label, bukan musuh, bukan lawan debat. Kita mulai memahami konteks hidup mereka, luka yang mungkin mereka bawa, atau keyakinan yang mereka perjuangkan. Dari sini, hubungan yang sebelumnya renggang bisa mulai pulih. Bahkan, dalam banyak kasus, Curiosity Curve bisa menjadi jalan masuk untuk menyembuhkan konflik yang telah lama mengakar, baik di tingkat personal, keluarga, maupun sosial.
Namun, berpindah dari zona kepastian ke zona keingintahuan bukan hal yang mudah. Diperlukan kesadaran diri yang tinggi, keberanian untuk melepaskan ego, dan komitmen untuk terus belajar. Pikiran manusia secara alami menyukai kepastian—karena merasa benar itu aman dan nyaman. Tapi pertumbuhan tidak pernah lahir dari kenyamanan. Ia lahir dari pertanyaan, dari keraguan yang jujur, dan dari keberanian untuk mengakui bahwa kita belum tahu segalanya.
Untuk mulai menerapkan Curiosity Curve dalam kehidupan, ada beberapa langkah praktis yang bisa dicoba. Pertama, sadari posisi Anda dalam kurva, terutama saat menghadapi situasi emosional. Apakah Anda sedang berada di zona menyerang, bertahan, atau terbuka? Kedua, latih pertanyaan-pertanyaan penasaran—bukan yang menyudutkan, tapi yang menggali: “Apa yang membuatmu merasa begitu?”, “Bisa cerita lebih banyak tentang pengalamanmu?” Ketiga, gunakan jurnal refleksi. Catat momen-momen ketika Anda merasa tertutup, dan pikirkan bagaimana Anda bisa merespons dengan lebih terbuka di masa depan. Keempat, latih diri Anda untuk berbicara dengan orang yang berbeda pandangan, bukan untuk meyakinkan mereka, tapi untuk belajar dari mereka.
Di dunia yang terus berubah dan sering kali terasa membingungkan, menjadi orang yang penuh rasa ingin tahu adalah kekuatan. Orang yang ingin tahu tidak mudah terjebak dalam fanatisme. Mereka tidak merasa terancam oleh perbedaan. Mereka nyaman dengan ketidakpastian, dan karena itu, mereka lebih siap menghadapi kompleksitas hidup.
Akhirnya, Curiosity Curve bukan sekadar teori atau konsep abstrak. Ia adalah cermin. Ia menunjukkan kepada kita dimana posisi mental dan emosional kita saat ini, dan ke mana kita bisa melangkah jika kita sungguh ingin tumbuh. Dalam perjalanan pengembangan diri, kurva ini adalah salah satu kompas terbaik yang bisa kita miliki.
Orang bijak bukan yang punya semua jawaban, tapi yang tidak pernah berhenti bertanya dengan hati yang terbuka.
*Terinspirasi Jeff Wetzler, juga Braver Angels’ “The Emotional and Intellectual Transformation of De-Polarization” Harvard Business Review (red).
Oleh : Jaharuddin (Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta)