Pekanbaru|Eranews.id — Empat kali pergantian pucuk kepemimpinan, empat kali pula Provinsi Riau terseret dalam kasus korupsi tingkat tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menorehkan catatan kelam sejarah politik Riau setelah menetapkan Gubernur Riau yang menjabat saat ini, Abdul Wahid, sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) terbaru pada 2025.
Rangkaian kasus ini memperlihatkan pola korupsi yang berulang di lingkungan pemerintahan Riau. Sejak tahun 2008, setidaknya empat gubernur Riau berturut-turut dijerat lembaga antirasuah dengan tuduhan suap dan penyalahgunaan kewenangan.
Kasus pertama mencuat pada 2008, ketika Saleh Djasit dinyatakan bersalah dalam perkara pengadaan mobil pemadam kebakaran. Ia dijatuhi hukuman penjara setelah terbukti melakukan korupsi anggaran daerah. Vonis ini menjadi awal kelam perjalanan panjang pemberantasan korupsi di Riau.
Lima tahun berselang, pada 2013, mantan Gubernur Rusli Zainal menyusul. Ia terbukti menerima suap terkait penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII serta pemberian izin kehutanan kepada sejumlah perusahaan. Kasus ini menguak dugaan kuat adanya praktik rente dan mafia hutan yang sudah lama mengakar di provinsi tersebut.
Tidak lama setelah itu, pada 2014, Gubernur Annas Maamun ditangkap KPK dalam perkara suap alih fungsi lahan. Ia diketahui menerima gratifikasi dalam pengubahan tata ruang kebun sawit, yang kemudian menguntungkan pihak swasta tertentu. Penangkapan ini kembali memperkuat citra bahwa sektor kehutanan dan perkebunan di Riau menjadi lahan empuk praktik korupsi sistemik.
Kini, pada 2025, KPK kembali turun tangan. Abdul Wahid, gubernur yang masih menjabat, diamankan lembaga antirasuah dalam dugaan suap terkait pengelolaan proyek di lingkungan pemerintah provinsi. Meski KPK belum merinci jumlah uang yang terlibat, penyidik menyebut adanya indikasi pengaturan fee proyek.
Pengamat politik dan tata kelola pemerintahan Universitas Riau, menilai fenomena ini bukan semata persoalan individu. “Kasus korupsi yang berulang pada level gubernur menunjukkan adanya struktur birokrasi dan patronase politik yang belum berubah,” ujarnya.
Ia menambahkan, selama format kekuasaan masih bertumpu pada politik balas budi, biaya politik mahal, dan lemahnya pengawasan anggaran, maka praktik korupsi akan sulit dihentikan.
Pemerhati antikorupsi di Riau mendesak KPK dan pemerintah pusat untuk menata ulang tata kelola sumber daya alam, termasuk sektor kehutanan dan perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah ini. Selain itu, pembenahan sistem rekrutmen politik dan transparansi anggaran dianggap mendesak dilakukan.
“Riau butuh model pemerintahan baru yang tidak hanya berganti orang, tetapi juga mengubah budaya kekuasaan,” tegas Nurul.
Dengan penangkapan Abdul Wahid, Riau kembali menjadi sorotan nasional. Publik kini menunggu langkah tegas reformasi struktural agar sejarah kelam ini tidak terus berulang (red).