Model dalam Secangkir Teh Mawar

waktu baca 4 menit
Minggu, 1 Jun 2025 06:48 0 96 Redaksi

Kolom|Eranews.id- Kabut tipis masih menggantung di atas alun-alun saat Laras Mayang menuruni tangga kecil dari hotel tua di kawasan Cihapit. Udara pagi Bandung menampar wajahnya dengan lembut, seperti kenangan masa kecil yang muncul tanpa aba-aba. Ia baru tiba semalam, setelah delapan tahun meninggalkan kota ini—meninggalkan aroma hujan, jalan-jalan kecil yang menyimpan rahasia, dan… seseorang.

Kini ia datang bukan sebagai mahasiswa filsafat yang dulu sering berdebat di taman-taman kampus, tapi sebagai penulis buku nonfiksi yang dikenal dingin dan ketat dengan teori. Ironisnya, penerbit justru memintanya menulis satu bab penutup dalam bentuk narasi fiksi reflektif. Laras, yang terbiasa dengan kutipan panjang dan struktur akademik, merasa gugup. Ia butuh ilham—dan itulah alasan ia pulang.

Di sudut kecil Jalan Aceh, ia menemukan kafe bergaya art deco yang menyimpan aroma nostalgia. Ia duduk di sana, memesan teh mawar, dan membuka jurnal usangnya yang telah menguning. Di balik lembar keempat, ada coretan tangan: “Model bukan untuk menjelaskan dunia sepenuhnya, tapi untuk menyalakan lentera agar kita tak tersesat sepenuhnya.”

Ia tidak ingat kapan menulis itu. Mungkin di antara hujan dan perdebatan kampus. Atau mungkin… bukan ia yang menulisnya?
***

Laras lalu berjalan ke kampus lamanya. Di bawah pohon flamboyan di dekat Fakultas Ilmu Sosial, ia melihat seorang pria tua sedang menggambar sketsa bangunan tua. Garis-garisnya bersih, penuh perhitungan, tapi juga menyimpan getaran rasa. Ia tertarik dan mendekat.

“Boleh saya lihat, Pak?” tanya Laras.

Pria itu hanya mengangguk. Laras terpana. Bangunan tua yang digambar itu bukan sekadar gambar, tapi seperti versi lain dari kenyataan—lebih sederhana, lebih bermakna.

“Bapak arsitek?” tanya Laras.
“Dulu, mungkin. Sekarang saya hanya mencoba memahami kembali kota ini. Lewat garis.”
“Gambarnya seperti model ya…”

Pria itu menatapnya tajam, seakan menemukan kata kunci yang selama ini ia tunggu.

“Model itu seperti secangkir teh mawar,” katanya pelan. “Tidak bisa kau minum mawar yang sesungguhnya. Tapi kau bisa menangkap esensinya dalam air panas, dalam aroma, dalam rasa yang tertinggal di lidah.”

Laras terdiam. Kalimat itu seperti pukulan lembut yang membuka sesuatu dalam dirinya.
***

Beberapa jam kemudian, Laras kembali ke kamar hotelnya dan mulai menulis. Tapi kali ini, bukan dengan logika tajam dan istilah rumit. Ia menulis kisah tentang seorang anak kecil bernama Sita di pinggiran Kota Bandung. Anak itu setiap sore menggambar peta kota versinya sendiri. Ada sungai berwarna ungu, gunung di tengah kota, dan jembatan yang bisa berubah jadi perahu.

Sita tidak pernah keluar dari lingkungannya. Tapi dari cerita-cerita yang ia dengar, ia membangun dunia kecil di kertas lusuh. Saat ditanya kenapa sungainya berwarna ungu, ia menjawab, “Soalnya di mimpi aku, air itu berwarna ungu. Jadi ini peta mimpi aku.”

Dalam cerita fiksi itu, Laras membuat Sita tumbuh menjadi perancang kota. Tapi ia tetap membawa serta peta ungunya—bukan karena ia naif, tapi karena ia tahu, semua yang besar dimulai dari imajinasi yang sederhana dan jujur.
***

Satu hari sebelum ia kembali ke Jakarta, Laras kembali ke kafe tempat ia pertama kali mencicip teh mawar. Tapi meja yang ia tempati dulu telah kosong. Di atasnya, hanya ada secarik kertas bergaris:

“Model adalah upaya terstruktur untuk menjelaskan dunia melalui asumsi-asumsi yang saling terhubung, memberikan pandangan yang lebih sederhana tentang fenomena kompleks.”
— Lave & March, 1993

Tulis tangan yang sama seperti dalam jurnal lamanya.
Laras tertegun.

Ia segera membuka ponsel dan mencocokkan tulisan itu dengan foto kenangan lama. Dan benar, itu tulisan Gibran, sahabat sekaligus kekasih lamanya yang hilang kontak setelah konflik panjang di tahun terakhir kuliah. Gibran, yang dulu sangat mencintai teori, seni, dan mawar.
***

Malam itu, Laras menulis dengan air mata yang tenang. Ia menulis bukan karena tenggat waktu, tapi karena rindu yang telah menemukan bentuknya. Ia sadar, hidup ini pun pada akhirnya adalah model—bukan tentang memuat seluruh kenyataan, tapi tentang merajut bagian-bagian yang bermakna, agar kita tak sepenuhnya tersesat.

Ia menulis untuk siapa pun yang pernah kehilangan arah dalam dunia yang terlalu rumit. Ia menulis agar orang tahu, bahwa model bukan tentang kesempurnaan. Ia adalah peta kecil, secangkir teh hangat, peta ungu seorang anak, atau sketsa bangunan tua—yang semuanya membawa kita lebih dekat pada pemahaman.
***
Catatan Akhir,
Model, sebagaimana ditulis Lave & March (1993), adalah “representasi sederhana dari bagian tertentu dari kenyataan, yang menangkap beberapa fitur utama sembari mengabaikan aspek lainnya.” Dan di tengah kehidupan yang tidak pernah bisa dijelaskan sepenuhnya, barangkali secangkir teh mawar saja sudah cukup.

Oleh : Jaharuddin

LAINNYA