Raja Ampat di Ambang Kehancuran, Ketika Hukum Tak Cukup Melindungi Alam

waktu baca 5 menit
Minggu, 8 Jun 2025 05:42 0 89 Redaksi

Surabaya|Eranews.id – Langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nikel di Raja Ampat patut diapresiasi, namun tidak cukup. Menghentikan aktivitas tambang hanya sampai “verifikasi lapangan” terdengar seperti tindakan kompromi di tengah persoalan hukum dan ekologis yang sangat serius dan nyata. Pertanyaannya: mengapa izin tambang ini bisa terbit sejak 2017 untuk wilayah yang jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang?

PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan BUMN PT Antam Tbk, kini menjadi sorotan karena beroperasi di kawasan konservasi kelas dunia, Raja Ampat. Ironisnya, wilayah yang dijuluki sebagai surga terakhir di Bumi, dengan 75 persen terumbu karang terbaik dunia, malah dikeruk atas nama “hilirisasi nikel” dan “strategi transisi energi nasional.”

Namun persoalannya bukan sekadar soal kebijakan energi atau investasi. Ini soal penghinaan terhadap hukum itu sendiri. Kita sedang berbicara tentang potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara eksplisit melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, tiga lokasi tambang yang ditemukan Greenpeace, jelas termasuk dalam kategori pulau kecil. Lalu, mengapa pemerintah membiarkan Izin Usaha Pertambangan(IUP) terbit untuk ketiga pulau keci di tanah surga terakhir?

Kontradiksi dalam Kebijakan dan Regulasi

Dalam hukum lingkungan Indonesia, prinsip kehati-hatian (precautionary principle) semestinya menjadi pedoman utama dalam pengambilan keputusan yang berpotensi merusak lingkungan. Sayangnya, dalam kasus Raja Ampat, prinsip ini diabaikan. Kementerian ESDM seolah hanya berpijak pada logika administratif: “karena Amdal sudah ada, berarti boleh tambang”. Padahal Amdal hanyalah alat, bukan pembenar. Harus diuji validitas, independensi, dan partisipatifnya. Satu hal yang tak dapat dielakan bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak Amdal disusun tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat terdampak atau kajian ekologis yang objektif.

Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), pasal 65 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan lebih tegas lagi, Pasal 66 menjamin bahwa warga negara yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Maka, perlawanan masyarakat sipil terhadap tambang nikel di Raja Ampat tidak hanya sah, tapi juga dilindungi hukum.

Ketika BUMN Pun Jadi Pelaku

Keterlibatan BUMN dalam aktivitas yang merusak lingkungan menambah ironi dalam praktik tata kelola sumber daya alam kita. Alih-alih menjadi pelopor pembangunan berkelanjutan, PT Antam Tbk melalui anak perusahaannya justru tampil sebagai pelaku potensial perusakan ekologis. Sebagai perusahaan milik negara, semestinya Antam tunduk pada standar tertinggi dalam hal kepatuhan hukum dan etika lingkungan, bukan berlindung di balik legalitas semu dari dokumen Amdal yang dipertanyakan kredibilitasnya.

Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kerusakan lingkungan oleh tambang nikel telah nyata terjadi di Halmahera, Wawonii, dan Kabaena. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa ekspansi pertambangan tanpa regulasi ketat hanya akan memperparah degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan konflik agraria. Kini, pola yang sama mulai menjalar ke Raja Ampat.

Pembekuan Bukan Solusi, Evaluasi Total Adalah Keharusan

Langkah pembekuan sementara yang dilakukan Menteri ESDM tidak boleh berhenti pada verifikasi administratif. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap proses terbitnya IUP PT Gag Nikel: mulai dari proses perizinan, substansi Amdal, hingga potensi pelanggaran UU. Tidak hanya itu, jika terbukti melanggar, maka pemerintah wajib mencabut izin tersebut secara permanen dan memulihkan kawasan terdampak. Ini sejalan dengan prinsip non-regression dalam hukum lingkungan, yakni larangan untuk mundur dari perlindungan lingkungan yang telah dicapai.

Pemerintah juga wajib menjalankan audit ekologis independen, melibatkan para ahli, LSM lingkungan, dan masyarakat adat setempat. Kehadiran negara di sini bukan sebagai fasilitator industri, tapi sebagai pelindung konstitusional hak-hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945.

Kewajiban Konstitusional Negara

Pemerintah tak bisa menutup mata bahwa keberlanjutan ekosistem Raja Ampat bukan hanya soal kelestarian alam, melainkan juga soal hak asasi manusia (HAM). Terdapat korelasi kuat antara perlindungan lingkungan dan pemenuhan HAM. Ekosistem yang rusak akan berdampak pada hilangnya mata pencaharian nelayan lokal, rusaknya sumber air bersih, serta hilangnya identitas budaya masyarakat adat. Artinya, aktivitas tambang yang merusak bukan hanya melanggar hukum lingkungan, tetapi juga berpotensi melanggar hak sosial-ekonomi masyarakat.

Negara melalui pemerintah pusat dan daerah wajib mengambil langkah tegas untuk melindungi pulau-pulau kecil dan masyarakatnya dari eksploitasi yang membabi buta. Dalam hal ini, pembiaran justru bisa dikategorikan sebagai kelalaian konstitusional.

Menuju Paradigma Baru Tata Kelola SDA

Isu tambang di Raja Ampat membuka tabir lebih besar: kegagalan kita dalam membangun paradigma tata kelola sumber daya alam yang berbasis keadilan ekologis. Indonesia tidak bisa terus-menerus menjadikan tambang sebagai jalan pintas pembangunan. Harus ada pembenahan menyeluruh: dari revisi sistem perizinan, penguatan sanksi pidana korporasi, hingga perlindungan hukum terhadap wilayah-wilayah ekologis strategis.

Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau kecil, Indonesia semestinya menjadikan UU No. 1 Tahun 2014 sebagai pijakan utama untuk menyusun rencana tata ruang nasional yang berpihak pada ekosistem, bukan hanya pada kapital.

Jika pemerintah serius ingin menyelamatkan Raja Ampat, maka satu-satunya jalan adalah pencabutan permanen IUP PT Gag Nikel. Raja Ampat bukan ruang uji coba kebijakan tambang, karena merupakan kawasan warisan dunia, tempat terakhir bagi sebagian besar biodiversitas laut yang tersisa. Tindakan yang hanya menunda, tanpa kepastian hukum tegas, adalah bentuk kompromi terhadap kehancuran ekologi yang tak bisa dipulihkan.

Kita tidak bisa memperjuangkan energi hijau dengan cara yang kotor. Transisi energi harus dibarengi dengan keadilan ekologis. Jika tidak, maka kita sedang menukar masa depan anak cucu kita dengan segenggam logam di tangan para investor (red).

Oleh: [Fransiskus Apri Palma]

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agsutus 1945 Surabaya dan Peneliti di Nusantara Center for Social Research

LAINNYA