UMKM Tradisional Menuju Ekonomi Digital Indonesia 2045, Peluang atau Ancaman?

waktu baca 6 menit
Selasa, 21 Okt 2025 09:11 0 31 Redaksi

Palembang|Eranews.id – Ketika semua orang berbicara tentang AI, komputasi awan, dan platform raksasa, jutaan pelaku usaha kecil di kampung, pasar tradisional, dan sentra kerajinan justru bergulat dengan pertanyaan sederhana: apakah ekonomi digital membawa berkah, atau pelan-pelan menyingkirkan mereka dari gelanggang? Pertanyaan ini masuk akal. UMKM adalah urat nadi ekonomi Indonesia: menyumbang lebih dari separuh PDB dan menyerap mayoritas tenaga kerja. Pada saat yang sama, perilaku konsumsi masyarakat kian beralih ke kanal digital—dari memesan makanan lewat aplikasi, belanja busana secara daring, hingga membayar kopi dengan QRIS.

Rasa canggung terhadap istilah “marketplace”, “algoritma”, atau “big data” wajar muncul di lapangan. Namun arus digitalisasi sudah terlanjur deras. Asia Tenggara mencatat pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan, dan Indonesia menjadi episentrum terbesar kawasan. Ini bukan lagi soal teknologi ada atau tidak, melainkan seberapa cepat pelaku tradisional bisa menemukan pijakan yang aman di tengah perubahan yang serbacepat. Di banyak daerah, akses internet membaik tetapi belum merata; literasi digital meningkat tetapi masih meninggalkan jurang. Pada celah-celah itulah lahir perasaan “tertinggal” yang sering kita dengar dari pedagang pasar hingga pengrajin rumahan.

Di balik cemas, sesungguhnya peluangnya nyata. Revolusi paling terasa datang dari pembayaran nirsentuh. Jutaan pengguna dan puluhan juta merchant, kebanyakan UMKM sudah terhubung ke QRIS. Transaksi menjadi cepat, aman, dan yang terpenting: tercatat. Bagi pelaku kecil, jejak transaksi adalah kartu nama baru saat mengetuk pintu pembiayaan. Warung yang dulu hanya berurusan dengan uang tunai kini punya data arus kas untuk meyakinkan pemberi kredit, merencanakan stok, hingga menata ulang jam operasional.

Digital juga membuka jalan pemasaran berbasis komunitas. Para pengrajin, petani, dan pelapak pasar kian piawai menggunakan Instagram, WhatsApp Catalog, hingga live commerce untuk bercerita tentang produk dan prosesnya. Mereka tidak lagi bergantung pada etalase fisik; kedekatan sosial dan storytelling menjadi nilai tambah yang sulit disalin pabrik besar. Di Pekalongan, batik rumahan menjangkau pembeli antarkota tanpa membuka cabang. Di desa wisata, makanan olahan dan kerajinan lokal menemukan pembeli tetap dari luar daerah berkat unggahan rutin dan interaksi hangat dengan calon pelanggan.

Salah satu contoh paling menarik datang dari Pasar Oro-Oro Dowo di Malang. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, Pasar ini menjadi pelopor pasar sehat berbasis digital. Pemerintah kota melakukan penataan kebersihan, memperkuat identitas pasar, sekaligus memperkenalkan sistem transaksi non-tunai dan kanal promosi daring. Pedagang tidak diminta meninggalkan cara lama, melainkan menggabungkan tradisi dengan teknologi. Hasilnya, pengunjung meningkat, transaksi lebih tertib, dan beberapa pedagang mulai dikenal di luar Malang berkat media sosial.

Tetapi peluang tidak datang tanpa bayang-bayang. Ketergantungan pada satu platform bisa berbalik menjadi risiko ketika kebijakan berubah, algoritma diperbarui, atau kompetisi memanas. Kita sudah melihat contoh perusahaan yang mengubah strategi penjualan dan berdampak ke pelapak kecil yang menggantungkan hidup pada satu kanal. Di jagat pembiayaan, akses pinjaman digital yang mudah dapat menjadi pedang bermata dua. Tanpa pembukuan dan literasi keuangan, sebagian pelaku terseret pada cicilan yang tidak seimbang dengan arus kas usaha. Industri fintech lending sendiri menunjukkan dinamika tingkat wanprestasi yang naik turun; disiplin meminjam menjadi pagar pertama agar digitalisasi tidak berubah menjadi jerat baru.

Ancaman lain datang dari ketimpangan kemampuan. Perusahaan besar punya modal untuk beriklan agresif, mengoptimalkan data, dan menguasai logistik—hal yang sulit ditandingi pelapak kecil. Jika transisi dibiarkan berjalan alami, jurang kompetensi akan melebar: sebagian pelaku melesat, sebagian lain tertinggal pada orbit pasar lama yang kian menyempit. Karena itu, pertanyaannya bukan lagi “digital itu baik atau buruk”, tetapi “desain transisinya berpihak pada siapa”.

Kunci pertama transisi yang adil adalah membangun model penjualan hibrida: kekuatan offline dipertahankan, kekuatan online dipakai seperlunya. Pelaku di pasar tradisional tidak harus mahir big data untuk mulai beradaptasi. Katalog sederhana, foto produk yang terang, layanan pelanggan via chat, dan pembayaran digital sudah cukup untuk membuka pintu pertama. Ketika transaksi tercatat, keputusan bisnis menjadi lebih tajam: kapan menambah stok, produk mana yang perlu dihentikan, promosi apa yang benar-benar menghasilkan.

Kunci kedua adalah literasi digital minimum yang benar-benar praktis. Banyak pelatihan berhenti pada seminar teoretis; pelaku membutuhkan pendampingan harian yang dekat dengan operasi: cara memotret produk menggunakan ponsel, menulis deskripsi singkat yang jujur, membalas pesan dengan sopan tapi efisien, menautkan katalog ke metode bayar yang sudah dipakai pelanggan, serta membaca dasbor penjualan sederhana untuk menghindari perang harga. Pendampingan seperti ini bisa dikelola oleh koperasi, komunitas, atau asosiasi pedagang dengan dukungan pemerintah daerah dan kampus.

Kunci ketiga ada pada regulasi platform yang tegas tetapi kolaboratif. Biaya layanan, mekanisme peringkat produk, dan akses data penjual harus transparan. Data portability penting agar pedagang bisa memindahkan etalase digitalnya tanpa memulai dari nol. Interoperabilitas pembayaran yang sudah terbangun perlu dilanjutkan pada interoperabilitas data transaksi, tentu dengan wajah perlindungan data pribadi yang kuat. Dengan begitu, pelaku kecil tidak terjebak sebagai “penyewa abadi” di rumah orang lain, melainkan pemilik reputasi digital yang bisa dibawa dari satu ekosistem ke ekosistem lain.

Ada alasan kuat untuk optimistis, tapi optimisme yang terukur. Penetrasi internet yang luas memberi panggung; QRIS memudahkan pencatatan; ekosistem e-commerce dan social commerce memberi pangsa pasar; dan gelombang alat AI dari caption generator hingga auto-reply kian terjangkau. Bagi UMKM, AI yang paling berguna bukan yang terdengar futuristis, melainkan yang menghemat waktu, menutup kebocoran marjin, dan membantu memahami pola belanja pelanggan. Nilai tambah lahir bukan dari efek “wah”, melainkan dari efisiensi yang berulang.

Pada level kebijakan, fokusnya sederhana tetapi menuntut konsistensi. Pembukuan dasar harus menjadi budaya baru UMKM; tanpa itu, akses pembiayaan murah akan selalu berat sebelah. Insentif pemerintah sebaiknya mengapresiasi usaha yang memiliki jejak transaksi dan laporan arus kas sekecil apa pun. Di hilir, logistik last-mile dan reverse logistics perlu dipermudah agar biaya kirim tidak menggerus harga jual pelaku kecil. Di hulu, sertifikasi produk dan kemasan yang rapi membuka pintu ekspor mikro, ruang pertumbuhan yang selama ini terlalu jarang disentuh oleh usaha rumahan.

Pada akhirnya, tradisi dan digital bukan musuh bebuyutan. Transformasi digital tidak harus menyingkirkan tradisi. Sebaliknya, tradisi dan teknologi bisa berjalan beriringan. Kekuatan UMKM tradisional ada pada kepercayaan, kedekatan sosial, dan keunikan produk lokal. Bila dipadukan dengan alat digital yang tepat, UMKM bisa naik kelas tanpa kehilangan jati diri Teknologi hadir untuk memperkuat, bukan menggantikan. Indonesia Emas 2045 tidak akan ditentukan oleh seberapa canggih platform yang kita miliki, melainkan oleh keputusan sehari-hari jutaan pelaku kecil: mencatat, menghitung, merespons pelanggan, dan berkolaborasi.

Menuju Indonesia Emas 2045, ekonomi digital akan menjadi tulang punggung perekonomian. Pertanyaannya bukan lagi “mau atau tidak dengan digitalisasi”, tapi siapa yang siap menuju perubahan. Bagi UMKM tradisional, masa depan bukan ancaman asal mereka tidak berjalan sendiri.

Maka, “Peluang atau Ancaman?” pada dasarnya pertanyaan tentang pilihan. Jika kita membiarkan transisi berjalan liar, ketergantungan dan ketimpangan akan membesar. Jika kita mengawalnya dengan kebijakan yang adil, literasi yang membumi, dan pendampingan yang konsisten, ekonomi digital justru menjadi eskalator mobilitas, mengangkat pelaku kecil dari lapak yang sempit ke pasar yang lebih luas tanpa mengorbankan jati diri. Jalan ke 2045 bukan soal mengejar tren, melainkan menata fondasi hari ini: dari pembukuan sederhana hingga keberanian membuka kanal baru, selangkah demi selangkah, agar tak ada yang tertinggal saat gelombang digital datang lebih besar esok pagi (red).

Penulis: M.Iqbal, S.H., M.E., C.W.C.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang

Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

LAINNYA