Kolom|Eranews.id – Sebuah Fiksi Pendek Reflektif untuk Jiwa dan rasa. Cerita ini hanya fiksi. Tapi jika kau merasa pernah berada di dalamnya, mungkin ini bukan sekadar cerita—melainkan cermin kecil dari lelah yang selama ini kau pendam diam-diam.
Di kaki senja, Kota Salak menyalakan lampu-lampu kecilnya seperti bintang-bintang yang lupa pulang. Sore merambat perlahan, dan suara adzan maghrib melayang dari surau kecil di ujung gang. Di tengah riuh yang semakin digital, berdiri kios sederhana milik Mbah Rawi—laki-laki tua yang tak pernah terburu-buru, bahkan oleh waktu.
Tak ada etalase mewah, tak ada papan nama terang. Hanya bangku rotan tua dan aroma teh melati yang pelan-pelan menenangkan siapa pun yang duduk di hadapannya. Di situlah, orang-orang datang—bukan untuk membeli, tapi untuk merasa pulang.
Di sisi lain jalan, berdiri toko modern milik Raka. Pemuda dua puluh delapan tahun, lulusan kampus ternama di Jakarta, kembali ke kampung dengan semangat membangun usaha digital. Ia tahu semua teknik promosi, paham algoritma, dan menguasai trik agar tokonya tampil di layar lebih sering daripada yang lain. Dalam waktu singkat, bisnisnya meledak. Followers naik, pesanan ramai, dan ia dijadikan panutan oleh komunitas wirausaha muda.
Tapi suatu hari, listrik padam. Kota Salak gelap. Internet mati. Tokonya lumpuh. Di tengah malam yang sepi itu, hanya kios Mbah Rawi yang menyala oleh cahaya lilin. Dan satu per satu orang datang. Duduk. Diam. Mendengar.
Raka juga datang. Hoodie menutupi kepalanya. Wajahnya gelisah. Ia duduk di bangku rotan itu, seperti seseorang yang baru sadar ia sudah terlalu jauh berjalan tanpa tahu arah.
“Mbah,” katanya, lirih, “kenapa masih buka? Padahal sudah nggak ramai…”
Mbah Rawi tersenyum. “Yang ramai belum tentu perlu. Yang sepi belum tentu salah.”
Raka menunduk. “Dulu saya percaya algoritma. Saya kejar semuanya. Belajar konten, teknik viral, iklan. Saya kejar tampilan. Tapi sekarang saya lelah. Rasanya seperti terus berlari, tapi tidak pernah sampai.”
Mbah Rawi menuangkan teh hangat. Uapnya mengepul seperti pelan-pelan menenangkan ruang. “Algoritma tahu caranya tampil. Tapi tidak tahu caranya memberi tenang.”
Raka tertawa kecut. “Saya pernah beli follower. Edit testimoni palsu. Bikin konten rekayasa. Semua demi dilihat orang. Tapi setiap kali konten selesai, saya merasa kosong.”
“Dulu,” kata Mbah Rawi, “saya jualan keliling. Nggak punya papan. Tapi satu hal yang saya jaga, jangan bohong. Karena kepercayaan lebih mahal daripada promosi.”
Raka terdiam. Sore berubah jadi malam. Tapi cahaya lilin itu seolah menerangi lebih dari sekadar ruangan—ia menerangi satu kesadaran yang telah lama padam dalam dirinya.
Esoknya, Raka menutup tokonya sehari. Ia hapus semua konten palsu. Ia tulis ulang deskripsi produknya dengan jujur. Ia mulai mengunggah kisah para pelanggan kecilnya. Tentang ibu penjual gorengan yang menabung, tentang kakek yang selalu bayar tepat waktu. Cerita yang nyata, meski tak viral.
Followers-nya menurun. Komentar mulai sepi. Tapi yang tersisa, benar-benar peduli. Mereka bertanya, mereka membeli, mereka mengucap terima kasih. Dan untuk pertama kalinya, Raka merasa lapang.
Hari-hari berikutnya, ia kembali duduk di bangku rotan itu. Kadang tanpa bicara. Kadang hanya menyeruput teh. Tapi setiap duduk di sana, ia merasa sedang belajar sesuatu yang tak diajarkan oleh kursus pemasaran mana pun, bahwa kejujuran tak selalu menang cepat, tapi ia selalu sampai pada tempat yang paling benar.
Sore itu, langit temaram. Raka berkata, “Mbah, ternyata… yang paling dicari orang bukan yang paling terlihat.”
Mbah Rawi mengangguk. “Karena hati tahu, mana yang jujur dan mana yang hanya ingin tampil.”
Langit menutup hari dengan lembut. Angin membawa aroma tanah yang tenang. Dan di antara dua generasi yang berbeda, mereka duduk sebagai dua manusia yang akhirnya mengerti hal yang sama, bahwa di dunia yang tak pernah tidur, kejujuran adalah satu-satunya tempat pulang yang tak berubah bentuk.
*
Epilog Sunyi
Cerita ini bukan tentang siapa yang salah, atau siapa yang paling benar. Ini hanya pengingat kecil bahwa di tengah dunia yang terus berlari dan meminta kita tampil tanpa henti, ada suara pelan yang perlu kita dengarkan, suara hati yang rindu untuk kembali jujur.
Dan jika suatu hari kau merasa lelah—bukan karena kerja keras, tapi karena kehilangan arah—mungkin ini saatnya berhenti sejenak. Duduk. Diam. Dengarkan sunyi. Karena tidak semua yang viral itu penting. Dan tidak semua yang penting harus viral (red).
*
Ditulis oleh: Jaharuddin