Lampung|Eranews.id – Indonesia memasuki babak baru ekonomi digital: pengguna internet telah menembus 212 juta orang dan transaksi daring terus melonjak. Namun, di balik geliat itu terselip paradoks besar — daya beli masyarakat justru menurun. Fenomena ini memperlihatkan apa yang disebut “digital abundance amid financial scarcity” — kelimpahan digital di tengah keterbatasan ekonomi.
Kelas menengah yang dulu menjadi motor konsumsi digital kini menahan diri. Mereka masih membuka Shopee atau Tokopedia, tapi semakin berhitung. Transaksi bisa naik dalam frekuensi, namun nilainya menurun. Konsumen mencari promo, cashback, dan produk murah, bukan lagi membeli karena kebutuhan atau kualitas.
Pandemi sempat melahirkan optimisme bahwa e-commerce akan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, memasuki 2025, tanda-tanda “bubble fatigue” mulai terasa. Nilai transaksi riil melambat, margin menipis, dan beban promosi kian berat.
Shopee, meski masih mendominasi dengan 53,22% pangsa pengguna, kini menghadapi kelelahan promosi. Tokopedia, yang bergabung dengan ekosistem GoTo, juga berjuang mencari keseimbangan antara ekspansi dan profitabilitas. Sementara itu, fenomena social commerce lewat live shopping menciptakan trafik tinggi tetapi konversi rendah.
Harapan agar e-commerce menjadi penyelamat UMKM tampaknya masih jauh dari kenyataan. Persaingan harga ekstrem membuat pelaku kecil kesulitan bersaing dengan produk impor murah. Meski program seperti Bangga Buatan Indonesia (BBI) terus digaungkan, pelaku UMKM tetap menghadapi hambatan logistik, branding, dan kualitas produk.
Tanpa kebijakan afirmatif — seperti pembatasan produk impor non-primer dan insentif bagi produksi lokal — maka e-commerce hanya akan memperbesar kesenjangan, bukan kesejahteraan.
Pemerintah kini berada di titik kritis. Upaya menjaga persaingan sehat perlu diimbangi perlindungan terhadap pelaku kecil dan konsumen. Larangan transaksi langsung di media sosial adalah langkah penting, namun harus diikuti dengan kebijakan konkret:
Insentif pajak untuk UMKM digital lokal.
Kolaborasi e-commerce dengan koperasi daerah.
Penguatan logistik di luar Jawa untuk menekan biaya distribusi.
Tanpa strategi itu, ekonomi digital Indonesia akan tetap besar di volume transaksi, tapi lemah di nilai tambah domestik.
Konsumen Indonesia kini jauh lebih kritis. Mereka tidak mudah tergoda oleh flash sale dan mulai membangun komunitas pembanding harga. Tren “belanja sadar” meningkat — membeli produk lokal, tahan lama, dan ramah lingkungan. Era e-commerce sebagai hiburan konsumtif sudah berakhir; kini, platform digital menjadi alat efisiensi ekonomi pribadi.
Pertanyaan besar: siapa yang paling diuntungkan dari ledakan digital ini? Sebagian besar nilai tambah masih terkonsentrasi pada perusahaan besar, bukan pelaku akar rumput. Tanpa inklusi digital dan pelatihan yang memadai, ekonomi digital justru memperluas ketimpangan.
Indonesia kini dihadapkan pada pilihan: menjadikan e-commerce sebagai ekosistem ekonomi berkeadilan, atau membiarkannya menjadi simbol modernitas tanpa makna kesejahteraan.
E-commerce tidak boleh hanya menjadi gemerlap layar — ia harus menjadi jembatan menuju kemandirian ekonomi rakyat (red).
Oleh: Amelia Anwar
Dosen Fakultas Bisnis Universitas Mitra Indonesia
Mahasiswa Program Doktoral Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung
Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Lampung Bidang Ekonomi dan Keuangan Syariah