Opini|Eranews.id – Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Namun ironisnya, meskipun telah lebih dari dua dekade reformasi berlalu, hingga kini bangsa ini masih berputar dalam retorika “pengakuan” tanpa landasan legislasi yang konkrit.
Ketiadaan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat merupakan cermin ketidakseriusan negara Indonesia dalam menjalankan perintah konstitusi. Negara terjebak dalam paradigma formalistik pengakuan: bahwa pengakuan dianggap selesai semata-mata dengan frasa “negara mengakui”, tanpa instrumen konkret untuk menjabarkan hak-hak itu dalam sistem hukum positif. Padahal, dalam teori hukum tentang pengakuan (recognition theory), sebagaimana dikemukakan oleh para pemikir seperti Hegel dan kemudian dikembangkan oleh Charles Taylor, pengakuan bukan sekadar afirmasi simbolik, melainkan tindakan aktif untuk menginstitusionalisasi hak dalam kerangka hukum, politik, dan sosial. Dapat dikatakan bahwa tanpa instrumen hukum yang operasional, pengakuan terhadap masyarakat adat hanya bersifat ilusif. Hal ini menciptakan juridical gap kesenjangan antara teks normatif konstitusi dengan realitas implementatif di lapangan. Hak-hak tradisional yang diakui secara konstitusional tetap rentan terhadap pelanggaran sistematis, baik dalam bentuk perampasan tanah adat, marginalisasi budaya, hingga kriminalisasi komunitas adat yang memperjuangkan ruang hidupnya.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat seyogianya dipandang sebagai constitutional mandate dan bukan sekadar proyek legislasi biasa. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap masyarakat adat terfragmentasi dalam berbagai sektor perundang-undangan seperti UU Kehutanan, UU Agraria, maupun berbagai kebijakan sektoral lain yang seringkali tidak sensitif terhadap sistem hukum adat yang hidup (living law). Fragmentasi ini menghambat pemberdayaan masyarakat adat dan justru memperdalam ketidakadilan struktural yang telah lama mereka derita.
Kegagalan negara dalam mengesahkan UU Masyarakat Adat menunjukkan keberlanjutan pendekatan pembangunanisme (developmentalism) yang mengorbankan hak-hak kolektif masyarakat adat atas nama investasi, infrastruktur, dan ekspansi ekonomi. Pada pendekatan ini mengabaikan prinsip utama hukum modern yaitu bahwa hukum harus menjadi alat untuk melindungi yang lemah, bukan menjadi instrumen dominasi ekonomi-politik. Maka, urgensi pengesahan UU Masyarakat Adat merupakan prasyarat bagi pemulihan martabat masyarakat adat sebagai subjek hukum. Sebuah negara hukum (rechtsstaat) tidak mungkin eksis tanpa penghormatan terhadap keberagaman hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks teori pengakuan, negara harus bergerak dari sekedar “menyatakan mengakui” ke arah “menginstitusikan pengakuan” melalui pengaturan yang tegas, implementasi yang konsisten, dan perlindungan terhadap Masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat tidak hanya dipandang soal politik identitas semata, tapi tentang keberanian negara untuk menegakkan keadilan di tengah pluralitas hukum dan budaya Indonesia.
Keterlambatan ini harus dibaca sebagai bentuk kegagalan konstitusional. Setiap hari tanpa UU Masyarakat Adat adalah penegasan berulang bahwa hak-hak konstitusional masyarakat adat hanya hidup di atas kertas, mati di lapangan. Sebuah ironi menyakitkan di negeri yang konon menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh:
Muhammad Ja’Far Raihan Alfath
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya