Pinjol vs Pinjol Syariah: Antara Kecepatan Digital dan Nilai Kemanusiaan

waktu baca 5 menit
Sabtu, 25 Okt 2025 07:20 0 1 Redaksi

Lampung|Eranew.id – Fenomena pinjaman online (pinjol) telah menjadi paradoks ekonomi digital di Indonesia. Di satu sisi, pinjol memberi akses cepat terhadap dana bagi jutaan masyarakat yang tidak terjangkau lembaga keuangan formal. Di sisi lain, banyak korban terjerat bunga tinggi dan praktik penagihan yang melanggar etika, bahkan hingga menimbulkan stres, konflik rumah tangga, dan kasus bunuh diri.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total penyaluran pembiayaan melalui fintech peer to peer (P2P) lending per Agustus 2024 mencapai Rp79,7 triliun, naik lebih dari 25 persen dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan itu menunjukkan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap pembiayaan cepat, namun sekaligus memperlihatkan meningkatnya risiko sosial akibat rendahnya literasi keuangan digital.

Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI), sejak 2018 hingga pertengahan 2024 telah ditindak lebih dari 6.600 entitas pinjol ilegal. Modusnya beragam: bunga mencekik, akses data pribadi tanpa izin, hingga intimidasi penagihan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menegaskan, “Masyarakat harus memahami bahwa pinjaman online hanya aman jika terdaftar dan berizin di OJK. Jangan tergiur kemudahan instan tanpa membaca risiko.” (Pernyataan resmi OJK, Juni 2024). Tingginya kasus pelanggaran moral dan ekonomi dalam praktik pinjol konvensional melahirkan dorongan kuat untuk menghadirkan pinjol syariah sebagai solusi berbasis nilai etika. Pinjol syariah tidak sekadar menghindari bunga (riba), tetapi juga menolak praktik ketidakpastian (gharar) dan penipuan (maysir), dengan menjunjung asas tolong-menolong (ta’awun) dan keadilan (‘adl).

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018, layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi diperbolehkan “selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan menghindari unsur riba, gharar, serta maysir.” Artinya, pinjol syariah tidak menggunakan sistem bunga, melainkan akad yang sah seperti murabahah (jual beli margin), ijarah (sewa), atau qardhul hasan (pinjaman kebajikan). Lebih dari itu, Majelis Ulama Indonesia menekankan agar setiap penyelenggara fintech syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas memastikan setiap produk, mekanisme penagihan, dan distribusi keuntungan sesuai dengan hukum Islam. Prinsip ini yang membedakan pinjol syariah dari pinjol konvensional.

Pemerintah dan OJK sejatinya telah memberi ruang yang luas bagi perkembangan fintech syariah. Melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 40 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), OJK menegaskan bahwa penyelenggara fintech dapat membuka Unit Usaha Syariah (UUS) untuk memastikan prinsip kepatuhan syariah dalam layanan digital. Dalam dokumen tersebut ditegaskan, “Penyelenggara LPBBTI dapat menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sepanjang memenuhi ketentuan OJK dan memiliki Dewan Pengawas Syariah yang disetujui oleh DSN-MUI.” (Pasal 22 POJK No. 40 Tahun 2024).

Kebijakan ini menandai tonggak penting bagi tumbuhnya fintech syariah di Indonesia. Dengan dukungan regulasi, pinjol syariah kini memiliki landasan hukum yang kuat untuk berkembang sejajar dengan fintech konvensional, tetapi tetap menjaga nilai-nilai keadilan sosial dan transparansi transaksi.

Meski regulasi sudah hadir, persoalan utama tetap sama: rendahnya literasi keuangan masyarakat. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2023 menunjukkan indeks literasi keuangan Indonesia baru mencapai 49,68 persen, sementara indeks inklusi keuangan sudah 85,10 persen. Artinya, banyak masyarakat sudah aktif menggunakan produk keuangan digital tanpa benar-benar paham cara kerjanya.

Kondisi inilah yang sering dimanfaatkan pinjol ilegal. Masyarakat terjebak karena tidak tahu perbedaan antara platform berizin dan tidak berizin. Dalam konteks ini, literasi keuangan syariah menjadi solusi strategis. Edukasi publik harus menekankan bahwa sistem syariah bukan sekadar label “tanpa bunga”, melainkan sistem ekonomi yang menjunjung moralitas, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Kampus, pesantren, lembaga zakat, dan media lokal seperti Lampung Post dapat berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan ini. Masyarakat perlu memahami akad, risiko, dan hak-haknya sebelum meminjam dana secara digital.

Keberadaan pinjol syariah tidak dimaksudkan untuk menggantikan pinjol konvensional sepenuhnya, tetapi sebagai jalan tengah antara kebutuhan kecepatan teknologi dan nilai kemanusiaan. Model syariah dapat menekan praktik eksploitasi finansial dan membangun ekosistem keuangan digital yang beretika. Pinjol syariah menempatkan hubungan pemberi dan penerima dana bukan sebagai “debitur–kreditur”, tetapi sebagai mitra usaha yang berbagi risiko dan keuntungan secara adil. Mekanisme restrukturisasi pun harus lebih manusiawi, tanpa denda yang menjerat.

Dalam pandangan OJK, pendekatan semacam ini sejalan dengan agenda nasional inklusi keuangan yang berkeadilan. OJK menegaskan bahwa “fintech syariah dapat menjadi pilar keuangan inklusif jika dijalankan secara transparan dan berorientasi sosial.” (Pernyataan resmi OJK dalam Fintech Syariah Outlook 2024). Puncak dari semua persoalan pinjol sebenarnya adalah krisis moral di ruang digital. Banyak penyelenggara hanya mengejar volume transaksi, sementara nilai kemanusiaan diabaikan. Sebaliknya, pinjol syariah mencoba mengembalikan fungsi sosial dari keuangan: membantu, bukan menjerat.

Untuk itu, ada tiga langkah nyata yang perlu dilakukan:

  1. Edukasi massal literasi keuangan syariah di level masyarakat desa dan kampus;
  2. Audit syariah independen terhadap setiap platform yang mengklaim prinsip syariah;
  3. Sinergi proaktif OJK, Kominfo, dan Polri untuk menutup aplikasi pinjol ilegal sebelum menimbulkan korban.

Jika langkah-langkah itu berjalan, Indonesia bukan hanya akan menjadi negara dengan pertumbuhan fintech tercepat di Asia Tenggara, tetapi juga negara dengan ekosistem keuangan digital yang bermoral dan berkeadilan.

Pinjol dan pinjol syariah ibarat dua wajah dari satu fenomena: kebutuhan akan pembiayaan cepat di tengah ekonomi digital. Bedanya, pinjol syariah menawarkan kecepatan yang dibingkai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial. Teknologi seharusnya tidak melahirkan ketidakadilan baru, melainkan menjadi alat untuk menegakkan prinsip keadilan, kemaslahatan, dan keberkahan. Di titik inilah, pinjol syariah hadir bukan hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi sebagai wujud nyata dari moralitas Islam di era digital (red).

Oleh: Muhammad Kurniawan,

Mahasiswa Doktoral Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

LAINNYA