Pendidikan|Eranews.id – Kalimat itu jatuh pelan, tidak dengan gebyar, tidak dengan penekanan dramatis. Tapi justru karena itu, ia terasa lebih dalam. Kalimat sederhana itu diucapkan oleh seorang tokoh yang namanya sudah lama tertulis dalam halaman-halaman buku teks ekonomi. Seorang akademisi yang lebih memilih didekati sebagai manusia biasa ketimbang digelari profesor. Seorang guru yang ilmunya tumbuh dari riset dan teori, tetapi akarnya menancap dalam ke tanah kehidupan, Prof. Sadono Sukirno.
Beliau memperkenalkan dirinya dengan santai. “Saya ini Jadel,” ujarnya. Jawa Deli. Putra Jawa kelahiran Sumatra. Sebutan itu bukan sekadar candaan, melainkan pintu pembuka yang langsung menghangatkan suasana. Tak ada kesan mengangkat derajat diri, apalagi membangun jarak. Ia hadir seperti seorang teman lama yang pulang membawa cerita.
Yang menarik, beliau justru menolak dipanggil “profesor”. “Cukup panggil saya Sadono Sukirno,” katanya. Pernyataan yang mengejutkan sekaligus memikat. Di zaman ketika gelar akademik sering menjadi benteng kehormatan, beliau justru meruntuhkannya sendiri. Karena bagi beliau, ilmu bukan soal pangkat, melainkan soal kebermanfaatan.
Pertemuan itu berlangsung sederhana, bahkan tanpa rencana besar. Namun seringkali, justru dari hal-hal yang tidak direncanakan, lahir peristiwa yang paling membekas. Bertemu langsung dengan seseorang yang karyanya dulu saya baca saat masih mahasiswa, memberi rasa syukur tersendiri. Dari halaman-halaman buku, kini saya bisa menyimak langsung tutur dan hikmah yang mengalir dari orang yang menuliskannya.
Dan beliau bukan sekadar menyampaikan ulang teori-teori ekonomi yang sudah kita tahu. Ia menyampaikan kehidupan. Tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi bisa menjadi mesin yang hebat, tapi tanpa arah yang benar, bisa menghancurkan banyak yang lemah. Tentang bagaimana pasar bisa menciptakan efisiensi, tapi melupakan keadilan. Tentang bagaimana angka-angka dalam statistik tak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan manusia.
Ia tak menyalahkan siapa pun. Tak menuding pemerintah, tak menyudutkan sistem. Yang beliau lakukan justru mengajak kita bercermin, apa gunanya semua ilmu dan gelar itu jika tidak membuat hidup lebih utuh? Jika tetap saja merasa hampa, letih, dan kehilangan makna?
Pesan-pesannya tidak datang sebagai ceramah, tapi sebagai percakapan. Ia tidak menjejalkan, ia menuntun. Kalimat-kalimatnya lahir dari pengalaman panjang sebagai pengajar, peneliti, dan manusia yang telah menua dengan belajar. Dan ketika seseorang menua sambil terus belajar, yang ia sampaikan bukan sekadar informasi, tapi kebijaksanaan.
Salah satu yang paling membekas bagi saya adalah renungan beliau tentang kesejahteraan. Bahwa banyak orang yang secara akademik tahu bagaimana mencapai “welfare”, tapi tak sedikit yang secara pribadi justru tak merasakannya. Sejahtera, katanya, bukan soal memiliki lebih, tapi tentang merasa cukup. Tentang hadir penuh dalam hidup. Tentang bisa tertawa, bisa tidur nyenyak, bisa makan dengan tenang, dan bisa memeluk keluarga dengan utuh.
Setelah sesi selesai, ia tak langsung meninggalkan ruangan. Ia tetap tinggal, melayani satu per satu yang ingin berbicara, berfoto, atau sekadar menyampaikan terima kasih. Tidak ada keangkuhan intelektual. Tidak ada pembatas antara guru dan murid, antara ilmuwan dan masyarakat. Yang tersisa hanya kehangatan seorang manusia yang memilih menjadi sederhana, meski punya banyak alasan untuk menjadi besar.
Peserta Kuliah Umum Prof Sadono Sukirno FEB UMJ
Saya tidak mencatat banyak hal dalam buku. Tapi saya menyimpan banyak dalam hati. Ada sesuatu yang menyala setelah pertemuan itu. Bukan semangat untuk tahu lebih banyak teori ekonomi, tapi semangat untuk hidup lebih jernih. Untuk melihat ilmu bukan hanya sebagai sarana mencapai prestasi, tapi sebagai jalan pulang menuju diri yang utuh.
Dan di tengah zaman yang penuh ambisi, kompetisi, dan tekanan pencapaian, saya merasa diingatkan kembali, Bahwa ilmu yang tidak membuat kita lebih manusia, adalah ilmu yang belum selesai (red).
Pelajaran ini saya buat dari kuliah umum beliau di FEB UIN syarif Hidayatullah Jakarta, dan FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Penulis : Jaharuddin , Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta.