Hukum|Erenews.id – Belakangan ini, sumpah pocong kembali menjadi perbincangan hangat, terutama di sebuah desa kecil di mana seorang tokoh masyarakat bernama Saka Tatal memilih jalan ini untuk membuktikan kebenaran klaimnya dalam sengketa tanah yang tengah ia hadapi. Sengketa tersebut menyeret nama seorang perwira polisi, Iptu Rudiana, yang dituduh melakukan tindakan tidak etis saat proses mediasi berlangsung.
Saka Tatal merasa difitnah oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan Iptu Rudiana. Dalam upayanya menunjukkan keseriusan dan kejujuran, ia memutuskan melakukan sumpah pocong. Dalam tradisi Jawa, sumpah pocong dianggap sebagai sumpah paling sakral—sebuah tindakan yang jika dilanggar, diyakini dapat membawa kutukan.
Kisah ini dengan cepat menyebar dan menjadi viral, menarik perhatian banyak kalangan, mulai dari pejabat pemerintah hingga tokoh agama. Ada yang mengecam penggunaan sumpah pocong, menganggapnya sebagai praktik kuno yang seharusnya tidak lagi digunakan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang mendukung langkah Saka Tatal, memandangnya sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakannya.
Hingga kini, Iptu Rudiana belum memberikan pernyataan resmi mengenai sumpah pocong yang dilakukan oleh Saka Tatal. Pihak kepolisian menyatakan bahwa mereka akan terus mengusut kasus ini sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Sementara itu, masyarakat terus mengikuti perkembangan kasus ini dengan penuh perhatian, mengingat implikasinya yang cukup besar, baik dari segi hukum maupun sosial. Sumpah pocong Saka Tatal menjadi simbol perlawanan yang tak biasa, membuat banyak orang penasaran akan akhir dari cerita ini (jay).