Ketahanan Keluarga, Fondasi yang Terlupakan di Tengah Dunia yang Bergegas

waktu baca 4 menit
Rabu, 14 Mei 2025 08:48 0 57 Redaksi

Kolom|Eranews.id – Di tengah dunia yang serba cepat dan bising, rumah sering kali menjadi tempat paling sepi dari perhatian. Kita pulang ke rumah, tapi pikiran masih sibuk dengan urusan pekerjaan. Kita duduk semeja, namun masing-masing tenggelam dalam layar kecil di genggaman. Padahal, keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai kehidupan ditanamkan. Saat keluarga mulai kehilangan fungsinya sebagai tempat bertumbuh, maka kita sedang menghadapi krisis yang jauh lebih dalam dari sekadar masalah ekonomi atau sosial—kita sedang kehilangan akar peradaban.

Ketahanan keluarga bukan tentang menjadi keluarga sempurna. Tidak ada keluarga yang bebas dari masalah, pertengkaran, atau kesalahpahaman. Namun keluarga yang kuat adalah mereka yang tidak menyerah untuk terus memperbaiki, terus belajar mencintai di tengah perbedaan, dan tetap saling menggenggam meski terluka. Ketahanan bukan sekadar soal tidak bercerai, melainkan tentang bagaimana sebuah rumah tetap menjadi tempat aman untuk kembali—tempat di mana anak-anak merasa dicintai, orang tua saling menghargai, dan semua anggota keluarga tumbuh bersama dalam kasih sayang.

Banyak orang lupa bahwa masa depan bangsa dan kualitas masyarakat dimulai dari keluarga. Dari rumah yang hangat, lahir generasi yang kuat secara moral dan spiritual. Sebaliknya, kekerasan, kebingungan identitas, bahkan radikalisme sering kali berakar dari rumah yang tidak menjalankan fungsinya. Ketahanan keluarga bukan hanya soal privat, ini adalah soal publik. Ketika satu keluarga gagal mendidik anak, satu generasi bisa kehilangan arah. Namun ketika satu keluarga berhasil menanamkan nilai iman dan akhlak, satu masyarakat bisa mendapat cahaya.

Proses membangun ketahanan keluarga dimulai jauh sebelum anak lahir, bahkan sebelum ijab kabul terucap. Ia dimulai dari niat membangun rumah tangga yang bukan hanya menjadi tempat tinggal, tetapi tempat ibadah dan perjuangan nilai. Pernikahan adalah penyatuan visi hidup, bukan sekadar penyatuan dua individu. Dari kesadaran ini, peran suami, istri, dan anak-anak dijalani bukan karena terpaksa, tapi karena cinta yang memiliki tujuan.

Lalu di mana ketahanan keluarga dibangun? Bukan di ruang seminar atau diskusi daring, tetapi di meja makan tempat cerita kecil dibagikan, di kamar tidur tempat pelukan meredakan tangis, di mushola rumah tempat doa dipanjatkan bersama. Ketahanan lahir dari rutinitas sederhana yang dilakukan dengan penuh cinta: makan bersama tanpa gawai, mendengarkan cerita anak-anak tanpa menghakimi, atau sekadar memeluk dan berkata, “Ayah dan Ibu mencintaimu.”

Setiap anggota keluarga memegang peran penting. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tapi juga pemimpin spiritual yang menenangkan. Ibu bukan hanya pengurus rumah, tapi madrasah kehidupan yang penuh kasih. Anak-anak bukan sekadar objek pendidikan, tapi juga pembelajar aktif dan pewaris nilai. Dalam keluarga yang sehat, saat satu lelah, yang lain menguatkan; saat satu jatuh, yang lain menopang.

Membangun ketahanan keluarga bisa dimulai dari lima hal sederhana. Pertama, bangun komunikasi yang jujur dan lembut. Jangan takut bertanya pada anak apakah mereka merasa dicintai—kejujuran mereka bisa menjadi cermin bagi kita. Kedua, tanamkan kebiasaan ibadah dan kebersamaan seperti shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an, atau mendongeng sebelum tidur. Ketiga, jaga lisan, terutama saat marah—anak mudah memaafkan, asal orang tua mau mengakui kesalahan. Keempat, jangan berhenti belajar. Didiklah diri sebagai orang tua, bukan hanya dari media sosial, tapi dari ilmu yang benar. Kelima, tanamkan nilai tauhid sejak dini melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Menjaga rumah bukan berarti menutup diri dari dunia luar. Justru, keluarga yang kokoh adalah pangkalan ruhani bagi orang-orang yang akan berlayar jauh memberi manfaat untuk masyarakat. Ketahanan keluarga tidak membentuk pribadi yang lemah, melainkan pribadi yang tahu arah, tahu tujuan, dan tahu ke mana harus pulang. Karena sesungguhnya, dari keluarga yang tangguh, lahir pemimpin jujur, guru sabar, pelayan masyarakat yang amanah, dan anak-anak yang menjadi penyejuk dunia.

Maka jika hari ini kita merasa penat oleh keruwetan zaman, mungkin jawabannya bukan di luar sana, tapi di dalam rumah kita. Mulailah dari yang kecil—sapaan hangat, pelukan tulus, atau doa yang khusyuk di pojok rumah. Karena dari ketahanan keluarga, harapan untuk masa depan yang lebih baik bisa tumbuh kembali (red).
#selesai

 

oleh: Jaharuddin

Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta

LAINNYA